Senin, 01 November 2010

Paradoks Konsep Pembangunan
Sabtu, 30 Oktober 2010 11:15 WIB

Apa arti koordinasi dalam pembangunan? Koordinasi pembangunan selalu berada dalam konteks tarik-menarik berbagai hal. Ia akan berhadapan dengan politik, dengan korupsi, dengan kekuatan ekonomi bayangan dan ketidak-kompetenan birokrasi. Karena itu koordinasi pembangunan bukan persoalan manajemen seperti ilmu manajemen konvensional yang memperhitungkan input-output, efisiensi, dan efektifitas.

Koordinasi dalam konteks negara seperti Indonesia harus berupa instrumen yang tidak hanya ditopang oleh dukungan politik, namun juga membangun elemen untuk mencapai tujuan “penguatan” seperti membangun kepercayaan dan dukungan masyarakat dan menahan lawan politik dan “tikus” sistem. Jika ingin lebih canggih, maka instrumen ini juga harus memperkuat mitra dalam hal pemerintah agar dapat bergerak mencapai tujuan pembangunan yang diinginkan. Sebagai contoh, pemerintah mempunyai kebijakan penguatan masyarakat sipil melalui fasilitasi dan promosi legimasi.

Pemerintahan kedua Presiden SBY memperlihatkan keinginan untuk meningkatkan kontrol atas kerja para menteri sebagai pembantunya. Tanda paling penting dari hal ini adalah didirikannya Unit Kerja Presiden Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) di bawah pimpinan Kuntoro Mangkusubroto yang dikenal memiliki kapasitas tinggi dalam pengelolaan program. Para menteri juga harus mengikuti program yang dibuat oleh unit kerja presiden ini, atas nama Presiden, untuk jangka waktu tertentu, misalnya seratus hari dan setahun.

Di manakah gambaran dari program-program dalam koordinasi tadi? Gambaran pertama adalah bahwa rumusan program tampak matang di beberapa kementerian dan sangat lemah di kementerian lain. Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) adalah contoh yang memiliki program yang baik dilihat dari nilai strategisnya. Misalnya, program pelayanan satu atap di Kementerian Dalam Negeri bernilai membangun kepercayaan masyarakat, memperbaiki persepsi investor, selain menjadikan reformasi birokrasi sebagai sesuatu yang terfokus pada bidang tertentu. Program ini erat dengan program yang ada di Kementerian PAN.

Program pembatalan perda bermasalah mempunyai nilai membersihkan kekeruhan di tata kelola daerah dan mendisplinkan birokrat serta politisi DPRD. Program Kementerian PAN fokus pada rancangan peraturan dalam yang memperbaiki tata kelola birokrasi dan pejabat tinggi negara. Contoh dari program yang tampak tidak matang adalah Kementerian Daerah Tertinggal dan Kementerian Kelautan yang tampak segemental dan tidak jelas nilai strategisnya.

Meskipun terdapat perbedaan dalam kematangan, rancangan program dapat mengenali ada perbedaan kesiapan di tiap kementerian yang harus disesuaikan programnya. Ada kementerian yang masih berantakan pengelolaannya, sehingga fokusnya adalah membuat semacam SOP (standard, operation, procedure) dan rancangan-rancangan kerja. Jika kita dapat mencermati memang di banyak kementerian apa yang diklaim sebagai inisatif anti-korupsi, sesungguhnya baru membuat SOP yang lebih baik. Namun, bagi kementerian lain yang dianggap siap, program yang dibebankan bersifat strategis.

Pembuatan program akan membantu para menteri dalam menjalankan tugasnya. Namun demikian, seharusnya nilainya terletak pada koordinasi politik, dan bukan pada nilai teknokratisnya. Menteri dengan berbagai latar belakang politik ini akan lebih fokus sebagai pembantu presiden daripada ke partai pendukungnya. Selain itu program adalah pernyataan politik dari Presiden pada rakyat maupun pada lawan politiknya. Dari aspek teknokratis, menteri yang dipilih seharusnya lebih tahu dari UKP4 tentang apa yang harus dilakukan kementeriannya dari satu hingga lima tahun ke depan. Kenyataannya tidak demikian.

Beberapa program dalam sejumlah kementerian sangat tergantung pada kapasitas menterinya. Misalnya, program perbaikan sistem pendidikan, pengembangan industri kecil, dan pembangunan daerah tertinggal masih harus diinterpretasikan. Misalnya, sistem pendidikan Indonesia tanpa orientasi yang jelas tentang mulai gambaran tentang kompetensi macam apa yang harus dimiliki anak Indonesia. Contoh lain, industri kecil adalah realitas dominan dari perekonomian Indonesia. Artinya, dibutuhkan visi tentang industri mana yang mau dikembangkan dan bagaimana mengkaitkannya dengan industri besar. Atau, bahwa penduduk daerah tertinggal, misalnya di Papua, bukan hanya tentang meningkatkan pendidikan menurut standar nasional, melainkan juga untuk tujuan penguatan sosial ekonomi setempat. Artinya, kontekstualisasi program dan juga penguatan kementerian itu sendiri untuk menjalankan program dengan pendekatan baru.

Indikasi kecenderungan untuk koordinasi yang lain adalah Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Program ini menyedot sekitar 0,7 persen dari APBN. Skema PNPM terlihat detail dalam pengorganisasian program. Namun, skema PNPM bisa terjatuh pada perangkap teknokrasi yang dibuatnya sendiri. Tantangan yang dihadapi, yang juga dapat menjadi cerminan pemerintahan SBY, disebabkan karena asumsinya sendiri tentang rakyat, tentang birokrasi, dan tentang pembangunan.
Program ini merupakan kelanjutan Program Pembangunan Kecamatan. Hasil studi tahun 2008 menunjukkan bahwa dampak ekonomi ada namun kecil pada golongan miskin. Pada golongan yang sedikit lebih baik, program ini hampir tidak berdampak ekonomi. Artinya, dampak sebatas kucuran bantuan, bukan pada kekuatan konsep pemberdayaan. Asumsi yang riskan lainnya adalah tentang birokrasi pemerintah daerah. Para fasilitator akan dipilih oleh lembaga ini. Kompetensi fasilitator sangat penting dalam keberhasilan program, sedangkan birokrasi tidak punya kompetensi dalam merekrut orang. Pembangunan sendiri yang berdimensi penguatan rakyat juga bukan sepenuhnya “terserah rakyat” dan pemerintah lepas tangan. PNPM seharusnya terkait dengan skema lebih besar tentang pembangunan daerah.

Pemerintahan SBY periode kedua dengan demikian memberikan gambaran paradoks. Di satu sisi tampak terjadi pencanggihan konsep. Di sisi lain, penopang organisasi dan realitas sosialnya tidak diperhatikan. Pemerintahannya dipenuhi oleh organisasi-organisasi simbolik yang kosong dalam fungsi. Tidak heran terjadi kegilaan pararel dalam banalisme argumen para politisi di DPR.

Meuthia Ganie-Rochman
Sosiolog dan Dosen FISIP Universitas Indonesia
Dikutip dari www.metrotvnews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar